Spilltekno – Kabar baik datang dari Technical University of Denmark (DTU): para peneliti mereka berhasil menciptakan antivenom baru yang menjanjikan harapan bagi ribuan orang di Afrika sub-Sahara. Antivenom ini diklaim ampuh melawan bisa dari 17 spesies ular paling mematikan di wilayah tersebut, sebuah wilayah yang sayangnya akrab dengan masalah gigitan ular.
Antivenom Baru: Secercah Harapan di Tengah Krisis Gigitan Ular
Gigitan Ular: Masalah Kesehatan Terabaikan di Afrika Sub-Sahara
Gigitan ular berbisa seringkali menjadi masalah kesehatan masyarakat yang terlupakan di Afrika sub-Sahara. Bayangkan, tiap tahun ratusan ribu orang menjadi korban, seringkali terjadi di pelosok desa yang jauh dari akses kesehatan memadai. Akibatnya? Ribuan nyawa melayang sia-sia, dan lebih banyak lagi yang harus hidup dengan kecacatan permanen, bahkan amputasi.
Data berbicara: lebih dari 300 ribu kasus gigitan ular dilaporkan setiap tahunnya di wilayah ini. Dari jumlah itu, sekitar 7.000 orang meninggal dunia, dan 10.000 lainnya harus merelakan anggota tubuhnya diamputasi. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, tapi teriakan akan kebutuhan mendesak solusi yang lebih efektif dan terjangkau.
Antivenom Tradisional: Bukan Tanpa Kekurangan
Selama lebih dari seabad, cara pembuatan antivenom tak banyak berubah. Prosesnya melibatkan penyuntikan bisa ular ke hewan besar, umumnya kuda, untuk memicu produksi antibodi. Antibodi inilah yang kemudian diekstrak dari darah kuda dan diproses menjadi antivenom.
Meski sudah menyelamatkan banyak nyawa, antivenom tradisional punya beberapa kelemahan serius. Salah satunya, risiko reaksi alergi parah pada pasien. Antibodi dari hewan bisa memicu respons imun berlebihan pada manusia, yang kadang malah membahayakan nyawa. Selain itu, antivenom tradisional seringkali berisi campuran antibodi, padahal hanya sebagian kecil yang efektif menetralkan bisa ular. Alhasil, pasien mungkin butuh dosis besar untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
“Antivenom tradisional memang manjur, tapi risiko alergi karena ‘barang asing’ dari hewan tetap jadi perhatian utama,” kata dr. Ade Putra, ahli toksikologi dari sebuah rumah sakit umum di Jakarta.
Nanobody: Senjata Baru Melawan Bisa Ular
Apa Itu Nanobody?
Untuk mengatasi kelemahan antivenom tradisional, para peneliti DTU melirik teknologi nanobody. Nanobody itu semacam fragmen antibodi super kecil yang asalnya dari llama dan alpaka. Hewan-hewan ini punya antibodi unik yang disebut camelid heavy-chain-only antibodies, yang cuma punya satu domain variabel. Struktur yang sederhana ini bikin nanobody lebih kecil, lebih stabil, dan lebih gampang diproduksi dibandingkan antibodi biasa.
Hebatnya lagi, nanobody bisa mengikat target tertentu dengan sangat kuat. Ini memungkinkan peneliti memilih nanobody yang paling jitu dalam menetralkan bisa ular tertentu. Ditambah lagi, nanobody minim risiko memicu respons imun pada manusia.
Di Balik Layar: Proses Penelitian dan Uji Coba
Prosesnya dimulai dengan menyuntikkan bisa dari 18 spesies ular Afrika ke seekor llama dan alpaka. Sistem imun kedua hewan itu kemudian menghasilkan jutaan nanobody berbeda. Nah, peneliti lalu menyaring dan memilih nanobody yang paling efektif melumpuhkan bisa ular.
Setelah menemukan kandidat nanobody yang menjanjikan, serangkaian uji coba laboratorium dan in vivo dilakukan untuk membuktikan efektivitas dan keamanannya. Dalam uji coba in vitro, nanobody diadu dengan bisa ular di tabung reaksi untuk melihat kemampuannya menetralkan racun. Sementara itu, dalam uji coba in vivo, nanobody disuntikkan ke tikus yang sudah terpapar bisa ular untuk melihat apakah nanobody bisa melindungi hewan dari kematian dan kerusakan jaringan.
Hasilnya? Kombinasi delapan nanobody berbeda terbukti efektif melindungi tikus dari kematian akibat bisa 17 dari 18 spesies ular yang diuji. Bahkan, antivenom baru ini diklaim lebih unggul dari Inoserp PAN-AFRICA, antivenom komersial yang jamak digunakan di rumah sakit-rumah sakit di Afrika.
Mengapa Antivenom Baru Ini Begitu Menjanjikan?
Jagoan dalam Menetralkan Racun
Salah satu keunggulan utama antivenom berbasis nanobody adalah kemampuannya menetralkan bisa ular dengan efektif. Uji coba laboratorium dan in vivo menunjukkan bahwa antivenom ini mampu melindungi hewan dari kematian dan kerusakan jaringan akibat berbagai jenis bisa ular. Lebih dari itu, penelitian juga mengindikasikan bahwa nanobody tak cuma mencegah kematian, tapi juga mengurangi kerusakan jaringan yang seringkali berujung amputasi.
“Kemampuan nanobody untuk menetralkan berbagai macam bisa ular merupakan terobosan yang luar biasa,” ujar Dr. Siti Rahayu, seorang peneliti farmakologi dari Universitas Gadjah Mada. “Ini berpotensi besar menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat gigitan ular.”
Produksi dan Distribusi Lebih Mudah
Selain khasiatnya, antivenom berbasis nanobody juga menawarkan kemudahan dalam produksi dan distribusi. Karena diproduksi secara rekombinan di laboratorium, produksi nanobody tidak memerlukan hewan besar seperti kuda. Ini menekan biaya dan kerumitan produksi. Selain itu, produksi rekombinan memungkinkan produksi nanobody dalam skala besar, yang bisa membantu memenuhi permintaan antivenom di daerah-daerah yang paling membutuhkan.
Yang lebih menarik, nanobody dikenal stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Anne Ljungars, ahli bioteknologi dari DTU, mengatakan bahwa stabilitas nanobody pada suhu tinggi membuatnya sangat cocok digunakan di daerah tropis dengan fasilitas pendingin yang terbatas. Ini tentu akan meningkatkan akses ke antivenom di daerah-daerah terpencil dan miskin di mana gigitan ular paling sering terjadi.
Efek Samping yang Minim
Keunggulan lain antivenom berbasis nanobody adalah profil keamanannya yang lebih baik. Nanobody punya risiko kecil memicu respons imun berbahaya pada manusia. Ini mengurangi risiko reaksi alergi yang sering menjadi momok pada antivenom tradisional.
“Potensi efek samping yang lebih rendah menjadikan antivenom berbasis nanobody pilihan yang lebih aman untuk pasien,” kata Dr. Budi Santoso, seorang dokter umum yang sering menangani kasus gigitan ular di daerah pedesaan.
Dengan kombinasi efektivitas tinggi, kemudahan produksi, dan profil keamanan yang lebih baik, antivenom berbasis nanobody punya potensi mengubah cara penanganan gigitan ular di Afrika sub-Sahara dan di seluruh dunia. Harapannya, terobosan ini akan segera tersedia bagi mereka yang paling membutuhkan, menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan permanen. Para peneliti terus berupaya mengoptimalkan produksi dan distribusi antivenom ini, dengan tujuan memastikan aksesibilitas yang luas dan terjangkau bagi semua orang.
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan Saluran WhatsApp Channel





