Spilltekno – Kelemahan dan Tantangan Internet Starlink menjadi topik yang semakin hangat dibicarakan di Indonesia.
Layanan internet berbasis satelit ini memang menjanjikan akses yang lebih luas, terutama di daerah terpencil.
Namun, di balik keunggulannya, terdapat sejumlah kelemahan dan tantangan yang harus dihadapi, mulai dari rentannya terhadap gangguan cuaca hingga harga layanan yang relatif mahal.
Mari kita telusuri lebih dalam apa saja yang menjadi kendala utama dari teknologi ini.
Rentan Gangguan dan Kendala Teknis
Agung Harsoyo, seorang pengamat telekomunikasi dari ITB, menjelaskan bahwa komunikasi satelit Starlink menggunakan frekuensi KU band.
Frekuensi ini rentan terhadap hambatan seperti uap air, sehingga ketika terjadi hujan, kemungkinan terjadinya gangguan komunikasi menjadi lebih besar.
Kondisi alam ini akan secara signifikan memengaruhi kapasitas dan kualitas layanan Starlink.
Menurut Agung, setiap teknologi telekomunikasi memiliki kelebihan dan kekurangan.
Teknologi non-terestrial seperti Starlink memang memiliki keunggulan dalam kecepatan penggelaran layanan broadband di daerah yang sulit dijangkau oleh teknologi terestrial seperti fiber to the home (FTTH) atau seluler.
Namun demikian, kelemahan Starlink juga terletak pada ketergantungannya pada kondisi alam.
Berada pada ketinggian lebih dari 550 km di atas permukaan Bumi, komunikasi Starlink rentan terganggu saat terjadi gangguan alam seperti badai matahari atau hujan lebat.
Hal ini membuat penggunaan Starlink sebagai komunikasi utama untuk misi kritis menjadi berisiko.
Harga Layanan yang Tidak Terjangkau
Salah satu kendala lain yang dihadapi oleh Starlink adalah harga layanannya yang relatif mahal.
Hal ini disebabkan oleh biaya teknologi satelit dan peluncurannya yang mahal, yang kemudian tercermin pada harga layanan broadband Starlink.
Sebagai contoh, layanan residensial Starlink memiliki harga sekitar Rp 750 ribu per bulan, belum termasuk biaya perangkat yang mencapai Rp 7,8 juta.
Bandingkan dengan harga layanan operator FTTH di Indonesia, seperti produk FTTH IndiHome yang menawarkan kecepatan 30 Mbps mulai dari Rp 220 ribu per bulan, atau layanan Telkomsel Orbit dengan kuota 100 GB seharga Rp 131 ribu.
Bahkan layanan MyRepublic menawarkan kecepatan 50 Mbps dengan harga Rp 200 ribu, dan kecepatan 100 Mbps seharga Rp 300 ribu.
Menurut Agung, masyarakat yang sudah terbiasa dengan layanan FTTH atau seluler dengan harga yang lebih terjangkau mungkin tidak akan dengan mudah beralih ke layanan Starlink yang harganya jauh lebih mahal.
Kemungkinan besar, produk Starlink hanya akan diminati oleh konsumen di daerah terpencil yang belum terlayani oleh layanan FTTH atau seluler.
Perbandingan dengan Internet Kabel
Agung juga menyoroti keunggulan internet kabel dibandingkan dengan Starlink, yaitu kapasitas dan kecepatan yang lebih besar.
Kapasitas dan kecepatan internet kabel bisa mencapai Gbps, sementara kecepatan Starlink saat ini baru bisa mencapai 200 Mbps.
Namun, Agung juga mengingatkan bahwa prinsip dasar dari teknologi nirkabel adalah kapasitas yang dibagi oleh jumlah pengguna.
Ketika pengguna masih sedikit, kecepatan nirkabel bisa optimal. Namun, ketika pengguna meningkat, kecepatan dan kualitasnya kemungkinan akan menurun secara alami.
Dengan begitu, Starlink memiliki kelemahan dan tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan layanannya dapat bersaing dengan layanan internet lainnya, terutama dalam hal harga dan ketahanan terhadap gangguan. Spilltekno
Cek Informasi Teknologi Lainnya di Google News