Spilltekno – Kisah Nabi Musa membelah Laut Merah telah lama dianggap sebagai salah satu mukjizat terbesar dalam sejarah keagamaan, diyakini oleh umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Kini, penelitian ilmiah terbaru mengungkap kemungkinan dasar ilmiah di balik peristiwa luar biasa tersebut.
Dalam kitab suci, dikisahkan bahwa Nabi Musa, dengan izin Allah SWT, membelah Laut Merah untuk memberi jalan bagi bangsa Israel melarikan diri dari kejaran pasukan Fir’aun. Setelah mereka selamat, air laut kembali menutup dan menenggelamkan pasukan Mesir. Namun, penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari National Center for Atmospheric Research menunjukkan bahwa kondisi atmosfer tertentu bisa saja menyebabkan fenomena serupa secara alami.
Menurut penelitian tersebut, angin dengan kecepatan tinggi dan sudut tertentu dapat menciptakan saluran air sementara, memungkinkan orang melintasi laut dengan berjalan kaki sebelum air kembali menutup seperti efek tsunami. “Penyeberangan Laut Merah merupakan fenomena yang memiliki komponen alami, keajaibannya terletak pada waktu yang sangat tepat,” ujar Carl Drews, seorang ahli kelautan yang dikutip dari Daily Mail pada Rabu (19/3/2025).
Model komputer menunjukkan bahwa untuk menciptakan efek ini, diperlukan angin dengan kecepatan lebih dari 96 km per jam yang bertiup ke arah tertentu. Angin ini bisa mendorong air ke laut dan membuka jalan selebar 4 km yang cukup bagi sekelompok besar orang untuk melewatinya. Ilmuwan kelautan dari Hebrew University of Jerusalem, Nathan Paldor, menambahkan bahwa jika angin bertiup selama satu hari penuh dari hulu Teluk, air dapat terdorong cukup jauh sehingga dasar laut yang sebelumnya tertutup air menjadi terlihat.
Banyak teori mencoba menentukan lokasi pasti peristiwa ini. Beberapa pihak meyakini bahwa pembelahan laut terjadi di Teluk Aqaba, yang memisahkan Semenanjung Sinai dengan Arab Saudi dan selatan Yordania. Namun, penelitian geologi membantah kemungkinan ini karena kedalaman Teluk Aqaba yang mencapai 1.800 meter akan sulit untuk mengalami efek serupa akibat angin badai.
Teori lain menyebutkan bahwa angin yang memecah laut berasal dari timur, padahal perhitungan ilmiah menunjukkan bahwa angin yang mampu menyebabkan efek ini harus berasal dari barat daya. Karena itu, banyak arkeolog yang mengusulkan lokasi alternatif, seperti Teluk Suez, yang lebih dangkal dengan kedalaman maksimal 30 meter dan memiliki dasar yang relatif rata.
Bruce Parker, mantan kepala ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration, berpendapat bahwa Nabi Musa mungkin memahami pola pasang surut air laut dan menggunakannya untuk membawa bangsa Israel melintasi perairan. Dalam artikelnya untuk The Wall Street Journal pada 2014, Parker menuliskan bahwa Musa, yang hidup di wilayah itu sejak kecil, kemungkinan besar memahami pola pasang surut dan tahu kapan air akan surut cukup lama untuk memungkinkan perjalanan melintasi laut.
Namun, teori ini masih bertentangan dengan catatan dalam Book of Exodus yang menyebutkan bahwa angin timur membelah laut. Sebagai alternatif, Carl Drews mengusulkan bahwa peristiwa tersebut lebih mungkin terjadi di Danau Tannis, yang terletak di Delta Nil. Terjemahan alternatif dari Alkitab Ibrani juga merujuk pada “laut alang-alang” yang kemungkinan mengacu pada perairan payau dengan vegetasi lebat di area tersebut, bukan Laut Merah seperti yang umum diyakini.
Drews mengungkapkan bahwa pemodelan samudra serta catatan sejarah tahun 1882 menunjukkan bahwa angin kencang di atas Delta Nil bagian timur dapat meniup air setinggi dua meter, sehingga untuk sementara waktu membuka daratan kering sebagai jalur penyeberangan. Struktur unik Danau Tannis memungkinkan terjadinya mekanisme hidrolik yang dapat “membelah air” sementara sebelum air kembali ke posisi semula.
Meskipun penelitian ini mencoba memberikan penjelasan ilmiah, Drews tetap mengakui bahwa kepercayaan akan mukjizat ini tidak sepenuhnya bisa dijelaskan oleh sains. “Sebagai seorang Kristen Lutheran, saya percaya bahwa iman dan sains dapat berjalan seiring. Mempelajari fenomena alam di balik peristiwa ini adalah sesuatu yang wajar bagi seorang ilmuwan,” tutupnya.
Beberapa ilmuwan juga menyoroti bagaimana fenomena serupa masih bisa diamati di berbagai belahan dunia. Salah satu contohnya adalah fenomena yang dikenal sebagai “wind setdown,” di mana angin kencang mampu mendorong air hingga menciptakan daratan sementara. Fenomena ini pernah tercatat di Danau Erie di Amerika Serikat pada 2003, ketika angin kencang menggeser permukaan air dan membuat sebagian dasar danau terlihat.
Selain itu, catatan sejarah juga menunjukkan kejadian serupa di Laut Baltik pada 1928, ketika angin kencang selama beberapa jam menyebabkan air di sebagian wilayah surut hingga beberapa meter. Hal ini semakin memperkuat hipotesis bahwa pembelahan laut yang terjadi pada zaman Nabi Musa mungkin merupakan fenomena alam yang luar biasa, yang dalam konteks keagamaan dianggap sebagai mukjizat ilahi.
Di sisi lain, para ahli sejarah dan arkeologi masih terus mencari bukti fisik yang dapat mendukung peristiwa ini. Beberapa ekspedisi telah dilakukan di dasar Laut Merah dan Teluk Suez untuk mencari sisa-sisa peradaban Mesir kuno yang mungkin tenggelam. Sejumlah peneliti mengklaim menemukan puing-puing yang diduga berasal dari roda kereta perang, tetapi belum ada bukti konklusif yang secara langsung mengaitkannya dengan peristiwa dalam kitab suci.
Spekulasi lain juga muncul mengenai kemungkinan penggunaan teknologi kuno dalam membantu eksodus bangsa Israel. Beberapa teori menyebutkan bahwa Musa dan para pengikutnya mungkin telah menggunakan jalur darat yang jarang diketahui, yang hanya bisa dilalui pada saat kondisi air tertentu. Hal ini didukung oleh fakta bahwa banyak peradaban kuno memiliki pengetahuan geografi dan astronomi yang cukup maju untuk memperkirakan pasang surut air laut.
Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk memahami dengan lebih jelas bagaimana peristiwa ini dapat terjadi. Namun, terlepas dari penjelasan ilmiah yang berkembang, kisah Nabi Musa tetap menjadi bagian penting dalam sejarah spiritual dan budaya banyak masyarakat. Bagi umat beriman, peristiwa ini tetap dianggap sebagai bukti kebesaran Tuhan yang melampaui batasan sains dan logika manusia.
Seiring dengan berkembangnya teknologi pemodelan atmosfer dan oseanografi, para ilmuwan berharap dapat merekonstruksi kondisi lingkungan yang lebih akurat pada masa lalu. Dengan simulasi yang lebih canggih, mungkin suatu hari nanti kita bisa mendapatkan gambaran lebih rinci tentang bagaimana fenomena ini terjadi ribuan tahun yang lalu. Spilltekno
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan Saluran Whatsapp Channel