Teknologi non-terestrial seperti Starlink memang memiliki keunggulan dalam kecepatan penggelaran layanan broadband di daerah yang sulit dijangkau oleh teknologi terestrial seperti fiber to the home (FTTH) atau seluler.
Namun demikian, kelemahan Starlink juga terletak pada ketergantungannya pada kondisi alam.
Berada pada ketinggian lebih dari 550 km di atas permukaan Bumi, komunikasi Starlink rentan terganggu saat terjadi gangguan alam seperti badai matahari atau hujan lebat.
Hal ini membuat penggunaan Starlink sebagai komunikasi utama untuk misi kritis menjadi berisiko.
Harga Layanan yang Tidak Terjangkau
Salah satu kendala lain yang dihadapi oleh Starlink adalah harga layanannya yang relatif mahal.
Hal ini disebabkan oleh biaya teknologi satelit dan peluncurannya yang mahal, yang kemudian tercermin pada harga layanan broadband Starlink.
Sebagai contoh, layanan residensial Starlink memiliki harga sekitar Rp 750 ribu per bulan, belum termasuk biaya perangkat yang mencapai Rp 7,8 juta.
Bandingkan dengan harga layanan operator FTTH di Indonesia, seperti produk FTTH IndiHome yang menawarkan kecepatan 30 Mbps mulai dari Rp 220 ribu per bulan, atau layanan Telkomsel Orbit dengan kuota 100 GB seharga Rp 131 ribu.