Spilltekno – Di salah satu restoran di New York, tepatnya Sansan Chicken yang berlokasi di Long Island City, Queens, seorang kasir muncul lewat layar besar dan menyapa dengan senyum lebar. Dia sempat merekomendasikan sandwich ayam goreng atau tonkatsu yang menggoda. Tapi ya, sambungannya kadang ngadat juga, soalnya dia nyambungin video call-nya langsung dari rumah di Filipina.
Namanya Romy. Nggak mau nyebutin nama belakang, tapi dia satu dari 12 asisten virtual yang kini kerja nyapa pelanggan di beberapa restoran New York. Semua dari jarak ribuan kilometer, pakai Zoom dan layar datar. Unik? Banget. Tapi juga bikin mikir.
Sebagian orang bilang ini solusi cerdas buat bantu pemilik bisnis kecil yang lagi dicekik sewa mahal dan inflasi. Tapi yang lain ngerasa sistem ini agak “murahan”. Gimana nggak, gaji para asisten virtual ini cuma 3 dolar per jam. Padahal minimum wage di NYC tuh 16 dolar. Lumayan jauh, kan?
Nah, ide ini datang dari Chi Zhang, pendiri Happy Cashier. Perusahaannya belum punya situs resmi, tapi layanannya udah jalan di beberapa tempat: Sansan Ramen, Sansan Chicken, Yaso Kitchen, bahkan dua restoran Cina lain yang milih nggak disebut namanya. Semua pakai asisten virtual dari Filipina yang standby 12 jam beda waktu cuma buat senyum dan bantuin orang order makanan.
Tapi ya, nggak semua pelanggan langsung klik sama sistem ini. Ada yang ngerasa aneh banget. “Kamu denger ‘halo’ terus mikir, ‘Ini siapa ya ngomong?’” kata Shania Ortiz, yang sempat mampir ke Sansan Ramen. Layar gede, kamera ngawasin pintu, dan suara dari speaker? Kayak film sci-fi yang belum kelar editnya.
Tapi Zhang tetap yakin, idenya bisa berkembang cepet. Targetnya? 100 restoran tahun ini. Katanya, biaya dan ruang bisa dipangkas, dan mereka juga bantu urus pesanan delivery, jawab telepon, sampai kelola review online. Tapi ya, uang cash tetap harus dilayanin sama staf lokal.
Uniknya, gaji 3 dolar itu katanya dua kali lipat dari standar di Filipina. Bahkan ada restoran yang kasih 30 persen dari tip harian ke si asisten virtual. Tapi tetap aja, diskusi soal etika kerja dan tekanan upah makin ramai.
Menurut Teófilo Reyes dari organisasi hak buruh, model ini bisa bikin standar gaji di industri makin merosot. “Outsourcing kayak gini berbahaya,” katanya.
Sementara itu, data dari Center for an Urban Future nyebut jumlah pegawai rata-rata di restoran cepat saji New York turun dari 9,2 jadi 8,5 sejak pandemi. Teknologi emang makin masuk, tapi belum banyak yang berani seradikal ini.
Dulu, Freshii sempat kena semprot gara-gara hal serupa. Tapi Zhang ngotot modelnya beda. “Ini alat bantu, bukan pengganti manusia,” ujarnya.
Beberapa orang malah ngeliatnya kayak parodi masa depan. Brett Goldstein, pendiri perusahaan AI yang ngepost soal ini sampe viral, bilang banyak komentar yang bilang ini kayak dunia distopia. Tapi tetep aja, banyak juga yang penasaran.
Di Sansan Chicken cabang Manhattan, manajer Rosy Tang justru mendukung. “Ini bikin usaha kecil bisa napas,” katanya. Dia bahkan kepikiran buka kedai kopi kecil karena ada ruang lebih.
Tapi ya, sistem ini juga nggak selalu mulus. Contohnya, waktu seorang reporter nyoba order sandwich tanpa keju lewat layar sentuh, asisten virtualnya malah nyaranin ke staf di sebelah. Karena dapurnya memang satu sama Sansan Ramen. Ribet juga, ya?
Atau kayak Will Jang, yang makan siang di Yaso Kitchen. Dia ngira itu cuma iklan kayak di taksi, jadi di-skip aja. Sementara Amber, kasir virtual yang nyapa dia, tetap semangat walau diabaikan. Dia bilang ini pertama kalinya kerja dari rumah setelah sebelumnya kerja langsung di restoran cepat saji.
Pas ditanya soal tempat tinggalnya? Dia jawab sopan, “Maaf, saya nggak bisa kasih info pribadi. Tapi saya bisa bantu ambil pesanan?”
Yah, itulah… kasir masa depan. Cuma, siapa sangka kasir ayam goreng di New York ternyata kerja dari balik layar ribuan kilometer jauhnya? Spilltekno
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan Saluran Whatsapp Channel