Spilltekno – Panasnya persiapan pelantikan wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka, kembali diwarnai isu lama: keabsahan ijazahnya. Mulai dari tudingan “ijazah palsu” yang dilontarkan tokoh publik seperti Roy Suryo, sampai analisis seorang profesor yang menyebutkan level pendidikan Gibran “hanya” setara SMP plus kelas 1 SMA, kontroversi ini memicu perdebatan sengit. Pertanyaannya, apakah Gibran memenuhi syarat pendidikan minimal untuk menjadi wakil presiden?
Roy Suryo dan Tuduhan Ijazah Palsu Gibran
Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, termasuk yang paling keras menyuarakan keraguannya. Ia bahkan mengklaim punya bukti kuat yang menunjukkan ijazah SMA Gibran tidak sah. Tudingan ini tentu saja bikin gaduh.
“99,99 persen Gibran tidak punya ijazah SMA,” ujar Roy dengan nada yakin di depan para demonstran awal Oktober lalu. Ia menambahkan, timnya telah mengantongi salinan ijazah “palsu” keluarga Jokowi. “Segera kami analisis… ijazah itu palsu. Kami uji ELA (Error Level Analysis).”
Suryo mempersoalkan catatan pendidikan Gibran di KPU. Menurut data KPU, Gibran bersekolah di Orchid Park Secondary School Singapore (2002-2004) dan UTS Insearch Sydney (2004-2007). Namun, Suryo melihat ada yang aneh dengan rentang waktu dan lokasi sekolah tersebut.
“Dulu dia ngaku sekolah dua tahun di SMA Santo Yoseph Solo. Terus, bapaknya kan waktu itu Wali Kota Solo, masih kuat, kenapa nggak diselesaikan? Malah langsung pindah ke Singapura. Di Singapura itu 3 tahun. Jadi total SMA-nya berapa tahun tuh? Ini harus dicurigai. Berarti dia belum tentu lulus SMA. Tapi kok tiba-tiba masuk universitas yang hebat, University of Bredford. Eh, ternyata MDIS di Singapura itu sudah tidak kerja sama lagi dengan Bredford. Terus seolah-olah lari ke Australia, ke UTS (University of Technology Sydney). Di sana setahun. Itu ada di website Pemkot Surakarta, S2 di UTS. Padahal dia di sana cuma matrikulasi,” ungkap Roy dalam wawancara di YouTube Refly Harun, Januari lalu.
Analisis Prof. Sulfikar Amir: Setara SMP Plus Sedikit SMA?
Selain tuduhan Roy Suryo, ada juga pandangan dari Prof. Sulfikar Amir, seorang pengajar di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, yang jadi sorotan. Lewat kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Prof. Sulfikar menjelaskan sistem pendidikan di Singapura dan implikasinya pada pendidikan Gibran.
“Ijazah Gibran hanya setara SMP plus kelas 1 SMA, bukan SMA penuh,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa sistem pendidikan Singapura mengadopsi kurikulum Inggris: enam tahun sekolah dasar dan empat tahun sekolah menengah. Setelah lulus sekolah menengah, siswa mengikuti ujian O-Level. Hasilnya menentukan apakah mereka lanjut ke Junior College (A-Level), yang setara SMA dan jalur utama ke universitas, atau ke Politeknik yang fokus pada keterampilan kerja.
Analisis ini didasarkan pada dugaan bahwa Gibran tidak menamatkan Junior College, atau setara SMA penuh, di Singapura. Maka, disimpulkan pendidikannya setara SMP ditambah sebagian kurikulum SMA.
Mempertanyakan Syarat Capres-Cawapres
Polemik ijazah Gibran ini berujung pada pertanyaan penting: apakah ia memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden? Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 jelas menyebutkan, seorang calon presiden atau wakil presiden harus punya ijazah SMA, SMK, atau sederajat.
Tudingan dan analisis yang muncul, membuat sebagian pihak berspekulasi soal potensi pelanggaran. Beberapa pihak bahkan mendesak investigasi mendalam untuk memastikan keabsahan ijazah Gibran dan kesesuaiannya dengan aturan yang berlaku.
“Kalau memang terbukti ijazah Gibran bermasalah, ini bisa berdampak serius pada legitimasi jabatannya,” kata pengamat politik, Arya Fernandes. “KPU dan pihak-pihak terkait harus segera bertindak untuk mengklarifikasi masalah ini.”
Hingga kini, pihak Gibran Rakabuming Raka belum memberikan tanggapan resmi soal tuduhan dan analisis tersebut. Namun, tim hukumnya diperkirakan akan segera memberikan klarifikasi.
Polemik ini masih terus bergulir dan jadi perbincangan hangat di mana-mana. Kejelasan soal ijazah Gibran sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik pada proses demokrasi dan memastikan legitimasi kepemimpinannya. Perkembangan terbaru kasus ini tentu akan terus dipantau.
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan Saluran WhatsApp Channel