Spilltekno – Pemerintah lagi mikir-mikir nih soal pembatasan fitur telepon dan video call di WhatsApp. Kebayang kan ramainya kayak apa? Ada yang bilang ini soal keadilan, ada yang ngomongin kelanjutan infrastruktur digital, bahkan ada yang bawa-bawa kebebasan berkomunikasi. Intinya, operator seluler merasa platform kayak WhatsApp itu nggak “setor” cukup buat infrastruktur yang mereka pakai. Nah, kira-kira apa ya dampaknya buat kita-kita yang pakai WhatsApp dan buat industri telekomunikasi di Indonesia?
Kenapa Sih WhatsApp Mau Dibatasi?
Jadi gini, wacana pembatasan ini nggak ujug-ujug muncul. Ada beberapa alasan kuat di baliknya, terutama soal duit yang “disetor” platform OTT buat infrastruktur jaringan.
Curhatan Para Operator Seluler
Intinya sih, operator seluler merasa nggak adil. Mereka udah keluar duit banyak buat bangun dan pelihara jaringan, eh platform OTT kayak WhatsApp malah numpang tanpa kontribusi yang setimpal. “Kita bangun kapasitas gede, tapi kok nggak dapat apa-apa?” gitu kira-kira keluh salah satu sumber dari operator seluler yang nggak mau disebut namanya. Jadi, ibaratnya mereka yang kerja keras, eh yang lain yang nikmatin hasilnya.
Alasan Kominfo Ikut Campur
Nah, karena ada keluhan dari operator, Kominfo mulai deh ngulik-ngulik kemungkinan pembatasan. “Ini masih wacana ya, masih diskusi. Cari jalan tengah lah,” kata Pak Denny Setiawan dari Kominfo. Intinya, Kominfo pengen platform OTT itu “nyumbang” sesuai dengan pemakaian jaringannya. Biar apa? Biar ekosistem digitalnya lebih adil dan berkelanjutan, dan investasi infrastruktur tetap jalan terus.
Gimana Negara Lain?
Ternyata, tiap negara beda-beda lho sikapnya ke platform OTT. Ada yang ketat, ada yang santai.
Contohnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Di sana, WhatsApp cuma bisa buat kirim pesan teks. Fitur telepon dan video call? Nggak ada. Kata analis sih, ini buat lindungi pendapatan operator telekomunikasi lokal yang masih jualan layanan komunikasi tradisional.
“Pengalaman saya di Arab Saudi, cuma bisa WA teks, nggak bisa WA call,” cerita Pak Denny. Jadi, pembatasan WhatsApp itu beneran ada di beberapa negara. Tapi, alasannya bisa beda-beda ya.
Tapi, kebanyakan negara, termasuk Eropa dan Amerika Utara, sih nggak segitunya. Mereka lebih fokus ke regulasi persaingan usaha dan perlindungan data pribadi.
Pemerintah Mikir Apa?
Wacana pembatasan ini tentu bikin banyak pihak bereaksi. Ada yang pro, ada yang kontra. Pemerintah, sebagai wasitnya, harus mikir mateng-mateng sebelum ambil keputusan.
Detail Ribet dan Urusan Internasional
Pemerintah sadar banget kalau ini nggak gampang. “Detailingnya itu akan sangat kompleks,” kata Pak Denny. Gimana cara nentuin mekanisme kontribusi yang adil? Terus, gimana juga hubungan dengan negara-negara tempat platform OTT itu berasal? Belum lagi dampak ke pengguna, terutama yang sering pakai WhatsApp buat ngobrol sama keluarga di luar negeri. Pembatasan bisa bikin komunikasi lintas batas jadi lebih susah.
Ujungnya Apa? Cari Jalan Tengah!
Intinya sih, pemerintah pengen semua pihak senang. Operator seluler bisa terus investasi, platform OTT bisa terus berinovasi, dan kita sebagai pengguna tetap bisa nikmatin layanan komunikasi yang murah dan bagus.
“Tujuannya itu kan win-win, kan sekarang nggak ada kontribusi dari teman-teman OTT itu kan? Ada yang berdarah-darah bangun investasi itu kan mereka (operator),” jelas Pak Denny. Makanya, pemerintah bakal terus ngobrol sama semua pihak terkait.
Oh iya, menurut data terbaru, pengguna internet di Indonesia udah 79,5% di tahun 2024. Dan WhatsApp jadi salah satu aplikasi yang paling populer. Jadi, kebijakan apa pun soal WhatsApp pasti bakal berdampak besar.
Ke depannya, pemerintah mau bikin studi mendalam soal dampak ekonomi dan sosial platform OTT ke industri telekomunikasi. Hasilnya bakal jadi bahan pertimbangan buat bikin kebijakan yang lebih baik. Pemerintah juga bakal terus pantau perkembangan teknologi biar regulasinya tetap relevan. Spilltekno
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News dan Saluran Whatsapp Channel